Ket [Foto]: Foto dokumentasi dari pihak yayasan diambil sebelum pandemi Covid-19
Belajar Bahasa Verbal di Pesantren Khusus Tuna Rungu Wicara
Temanggung, MediaCenter - Salah satu pesantren di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah yakni Pesantren ABATA, khusus diperuntukkan bagi anak-anak penyandang disabilitas tuna rungu wicara. Sedikitnya 40 anak dari berbagai daerah di Indonesia belajar di pesantren tersebut secara verbal, tidak menggunakan bahasa isyarat.
Kepala Sekolah Pesantren ABATA, Nur Sauminatun, mengatakan, dari 40 anak tersebut yang tinggal dan menginap di pesantren hanya 32, karena keterbatasan daya tampung. Selebihnya delapan orang tinggal di rumahnya masing-masing, karena masih usia PAUD. Namun pada masa pandemi Korona ini proses pembelajaran sementara terhenti dan semua anak telah dipulangkan.
"Pendaftar yang masuk waiting list sudah ada 30 orang. Kalau pembangunan gedung selesai bisa menampung 90 orang hingga lantai tiga. Sekarang baru di dak lantai dua,"katanya, Minggu (12/7/2020).
Pesantren ABATA memiliki tenaga pengajar dan staf sebanyak 15 orang. Berada di lokasi baru dengan luas tanah 856 meter persegi di Kawasan Manding pada 26 Oktober tahun 2019 lalu. Pesantren ini membuat kurikulum sendiri. Para penyandang disabilitas akan melewati masa pendidikan enam tahun setingkat Sekolah Dasar (SD).
"Setelah itu mereka bisa melanjutkan ke sekolah umum dan pesantren. Di sini anak-anak diberi pembekalan, keterampilan dan penguatan ibadah. Pesantren ini khusus putri spesial tuna rungu dan bersekolah secara gratis,"katanya.
Dalam proses pembelajaran, Pesantren ABATA menggunakan bahasa verbal, tidak memakai bahasa isyarat. Pesantren juga memberikan terapi wicara atau disebut sebagai metode lips reading dan visual phoenik. Jadi semua materi divisualkan. Untuk itu, para guru telah diberikan training dan mengikuti seminar tenaga ketunarunguan.
"Kami juga mengundang pakar untuk melatih para guru kalau anak-anak libur. Kalau dengan bahasa verbal mereka tidak bingung mencari komunitas, tidak harus bergaul dengan anak tuli tapi bisa dengan orang normal,"katanya.
Sejauh ini pesantren ABATA sudah meluluskan satu anak pada 2019 lalu. Tahun 2020 ini dijadwalkan akan meluluskan dua anak lagi. Terkait ujian dan ijazah yang didapat, sementara ini pesantren masih nginduk ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Melati.
Muchlisin, pengurus Yayasan ABATA, menjelaskan, sebelumnya sekitar dua tahun lalu pesantren ini masih berupa sanggar belajar untuk anak tuna rungu wicara bernama Rumah ABATA. Lokasinya ada di Kawasan Mungseng, Temanggung. Lalu berubah menjadi pesantren karena pihak pengelola menilai anak tuna rungu wicara juga butuh ilmu tentang beribadah yang benar, dan berlatih konsisten melaksanakan jadwal ibadah.
Ide dasar Rumah ABATA semula berasal dari kegelisahan Muchlisin yang sulit mencari pendidikan untuk anak sulungnya Fadela Khadijah (11) yang mengalami tuna rungu sejak umur 3 tahun. Ketika itu, Muchlisin sempat bertemu dengan seorang mahasiswa tuna rungu yang sukses, sehingga memotivasinya untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anaknya. Sayangnya, tidak mudah menemukan pendidikan dan terapi untuk anaknya yang ketika itu masih balita. Jika pun ada, lokasinya jauh di Solo dan Yogya dan berbiaya mahal. Adapun SLB yang ada di Temanggung tidak diperuntukan bagi anak balita dan sangat terbatas.
Muchlisin pernah memberikan terapi pada anaknya di daerah Yogyakarta selama dua tahun dan di Solo satu tahun. Untuk terapi dan bolak-balik Temanggung - Yogyakarta dan Temanggung - Solo membutuhkan biaya yang tidak murah.
Kegelisahan itu, mendorong Muchlisin menyampaikan , mengajak rekan-rekannya dalam Komunitas Universal and Moslem Enterpreneur (U&ME) yang terdiri dari para pelaku usaha UMKM di Temanggung untuk bergabung mendirikan Yayasan sosial Abata, lalu membuat Rumah ABATA untuk anak-anak tuna rungu wicara dari keluarga tidak mampu.
Mulanya mereka berhasil mengumpulkan dana sejumlah Rp 60 juta dari anggota yayasan. Mereka lalu menyewa rumah di Lingkungan Mungseng untuk menjadi rumah belajar dan terapi anak tuna rungu. Dana itu juga digunakan untuk pengadaan alat-alat lainnya dan menggaji guru dan pendamping. Muchlisin bergerak mencari anak-anak tuna rungu di Temanggung. Ia juga menyebar informasi melalui media sosial.
"Sampai saat ini pendanaan masih dari donatur, wali murid dan unit usaha. Belum ada bantuan dari pemerintah. Satu tahun ini kita bikin proposal untuk membangun usaha. Hasil usaha untuk membiayai operasional pesantren, gaji guru, konsumsi, listrik dan lainnya. Kami sudah memiliki tiga unit usaha,"katanya.
Amarkas (40) asal Semarang, Jawa Tengah mengaku telah menyekolahkan putrinya, Zanuba, 10 tahun di pesantren tersebut. Kini Zanuba terlihat lebih berkembang dan sudah memiliki kemandirian.
"Sebelum di pesantren ABATA, selama tiga tahun sekolah di SLB dari usia lima tahun hingga usia taman kanak-kanam hanya bisa memakai bahasa isyarat. Sekarang sudah bisa mengucap kata-kata,"katanya. (MC TMG/Tosiani;Ekape)
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook