Meraih Ketentraman Hidup Dengan Bertani Hidroponik
Ket [Foto]:

Meraih Ketentraman Hidup Dengan Bertani Hidroponik

Temanggung, MediaCenter - Lebih dari 20 jenis sayuran ditanam secara hidroponik di dua unit green house di Desa Campursari, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah. Masing-masing berukuran luas 350 meter persegi untuk menanam sayuran, seperti Sawi Pagoda, Kale, Siomak atau Selada Pedang, aneka jenis bayam, dan kangkung. Serta green house berukuran luas 600 meter persegi khusus untuk menanam Tomat Ceri. 

Dua green house itu berada di halaman depan rumah milik Bayu Sagoro warga setempat. Bersama isterinya Ida (52), lelaki kelahiran Manado 53 tahun silam ini mengembangkan pertanian hidroponik secara autodidak sejak November 2015. Kini mereka membagi peran, budi daya atau produksi pertanian dilakukan Bayu, dan pemasaran produk oleh Ida dengan mengedukasi konsumennya perihal kesehatan dan manfaat sayuran.

Diceritakan Bayu, semula ia sempat tinggal di Amerika selama 10 tahun. Hal itu karena mengikuti isterinya Ida, yang telah lebih dulu berada di negeri Paman Sam itu lantaran pekerjaannya sebagai staf World Bank. Jabatan terakhirnya sebagai Consultative Group International Agriculture Research (CGIAR) dan berkantor di Washington DC. Di sana, Bayu yang basic-nya adalah kontraktor dan konsultan proyek mengadu keberuntungan dengan bekerja di IMF berkat koneksi yang dimiliki isterinya.

"Perbedaan pandangan mengenai bunga bank dan pengetahuan agama yang saya dapat, membuat saya berhenti bekerja. Begitupun dengan isteri saya yang sudah 15 tahun bekerja di bank dunia pun keluar," tutur Bayu, Rabu (29/7/3020) di Temanggung.

Mereka lalu pulang ke Indonesia pada tahun 2013. Sesampainya di Jakarta, Bayu sempat sakit demam berdarah. Bosan dengan hiruk-pikuk Jakarta yang merupakan asal mereka, pasangan ini memutuskan pindah ke Yogyakarta. Dalam prosesnya, mereka berkesempatan melakukan perjalanan ke Temanggung dan tertarik dengan suasana hijau asri daerah ini.

Pada akhirnya, mereka malah membeli tanah di Temanggung dan memutuskan pindah ke daerah ini pada 1 September 2014. Meski tanpa bekal pendidikan pertanian, Bayu belajar hidroponik secara autodidak. Hidroponik dipilihnya lantaran ia menaruh minat pada pertanian, namun tidak bisa mencangkul. Bahan baku hidroponik adalah air. Tiap daerah memiliki kualitas air berbeda, dan air di Temanggung juga amat bagus dan mendukung pertanian hidroponik ini. 

"Pertama mencoba langsung tanam kangkung, sawi, bayam. Yang berhasil cuma kangkung. Sampai lima bulan baru tahu permasalahannya pot terlalu besar, saya ganti pot yang kecil langsung tumbuh bagus sampe hari ini," kenang Bayu.

Waktu itu sudah banyak orang yang memulai usaha pertanian hidroponik. Hanya saja yang bisa bertahan tidak banyak. Setahun kemudian Bayu mulai menanam Tomat Ceri akibat terbujuk rayu seseorang yang berjanji akan menyerap semua hasil panennya. Setelah satu kali membeli hasil panen Tomat Cerinya, orang tersebut kabur. Bayu menyadari ia telah ditipu.

"Satu tahun tanam tomat saya gagal karena penyakit pada tanaman tomat dan tidak tahu obatnya. Lebih besar biaya tanam dari pada hasil panennya. Lalu ketemu orang lain yang jago tanam tomat, jadi saya belajar. Banyak tomat yang dibuang karena rusak 50 persen lebih. Tahun kedua masih rugi, tapi tidak banyak, baru berhasil tahun keempat, 2019," katanya.

Kini tanaman tomatnya sudah mencapai 1200 pohon. Sekali panen, tiap pohon menghasilkan rata-rata satu kilogram. Ia memanennya sebulan sekali. Tomat Ceri dikirim secara rutin ke Bali, Jakarta dan Surabaya. Adapun sayuran lain dijual ke masyarakat dan dipasok ke sejumlah rumah sakit di Temanggung. Harga sayuran kisaran Rp 8-15 ribu per ikat, dan Tomat Ceri dijual Rp 40 ribu per kantong.

Pada awal bertani, ia mengeluarkan modal Rp 150 juta. Modal selanjutnya tidak terhitung lagi. Bayu selalu mengupdate sistem pertanian yang efisien, sehingga sekarang mampu memangkas biaya produksi hingga 50 persen. Pertanian hidroponiknya telah melibatkan sejumlah empat karyawan dari penduduk setempat. Mereka dibayar sesuai standar Upah Minimum Kabupaten (UMK).

"Saya jual langsung ke konsumen. Pembeli dapat sayur lebih segar. Moto saya pembeli tidak boleh rugi. Jadi kalau ada yang komplain sayur kurang enak, saya tawari mau ganti barang atau ganti uang sebagai kompensasi," katanya. 

Bertani hidroponik diakui Bayu lantaran ia telah letih mengikuti ritme kehidupan kerja. Ia ingin menyederhanakan kehidupannya dengan bercocok tanam. Dari kehidupannya sekarang ia memperoleh ketentraman dan kedamaian hidup.

“Hidup jadi tidak simple karena terlalu banyak informasi yang masuk. Makanya saya ke desa mau bertani. Capek mengejar banyak hal, seperti mengejar bayangan. Saya ingin menyederhanakan hidup. Sekarang saya merasa cukup, tidak ada yang saya kejar. Saya merasa tentram dan damai," tutur Bayu. (MC.TMG/Tosiani;Ekape)

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook