Ket [Foto]: Puluhan sertifikat tanah yang semula ditarik oleh ATR/BPN, kini telah kembali kepada warga sesuai kepemilikannya masing-masing
Ikhtiar Agus Gondrong, Puluhan Sertifikat Tanah Milik Warga Wates Wonoboyo Kembali
Temanggung, MediaCenter - Ikhtiar Bupati Agus Setyawan membantu warga Desa Wates, Kecamatan Wonoboyo, terkait permasalahan kepemilikan tanah dengan pihak Perhutani membuahkah hasil. Puluhan sertifikat tanah yang semula ditarik oleh ATR/BPN, kini telah kembali kepada warga sesuai kepemilikannya masing-masing. Hal itu dapat dicapai setelah dilakukan upaya komunikasi dan mediasi dengan pihak ATR/BPN dan Perhutani.
Ia mengatakan hal tersebut pada acara penandatanganan prasasti dan pengukuhan batas kawasan tanah milik dengan kawasan hutan, sesuai rekonstruksi batas kawasan oleh BPKH Wilayah XI Yogyakarta di Pos 1 Blumbang Kodok, Pendakian Gunung Prau, Desa Wates, Kecamatan Wonoboyo, Rabu (5/11/2025).
Bupati yang akrab disapa Agus Gondrong ini mengatakan, persoalan sertifikat muncul berawal ketika ada program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tahun 2023 dari BPN. Namun, pada tahun 2024 atas permintaan BPN sertifikat yang tanahnya berbatasan langsung dengan lahan Perhutani sesuai perintah kementerian ditarik kembali, lantaran harus menggunakan peta digital.
Acuan tersebut membuat lahan pertanian milik warga menjadi berkurang, karena terindikasi beririsan dengan lahan Perhutani, sehingga ada 62 warga terimbas. Bupati Agus lantas mengkomunikasikan hal tersebut kepada Perhutani, dan ATR/BPN, kemudian dilakukan mediasi.
Tindaklanjutnya dilakukan rekonstruksi ulang batas wilayahnya oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XI Yogyakarta, permasalahan pun dapat diselesaikan dengan baik. Alhasil, saat ini negara sudah mengakui kepemilikan tanah milik warga.
"Alhamdulillah, hari ini semua terselesaikan, kepemilikan kembali kepada asalnya, yang lahan warga, kembali kepada warga dan tidak mengurangi luasan lahan milik Perhutani. Pastinya, ini kerja bareng tokoh masyarakat dengan Pemdes Wates, juga bukti, bahwa lembaga vertikal di Temanggung bisa bekerjasama demi untuk melayani masyarakat, mengembalikan hak-hak warga. Dari 62 yang keberatan, 58 sudah menjadi sertipikat, tapi masih ada empat yang belum, karena yang dua masih menunggu pemiliknya, sebab domisili luar kabupaten, dua lagi diagunkan," katanya.
Kepala Kantah ATR/BPN Temanggung, Slamet Teguh menuturkan, memang dari pantauan semula di Desa Wates ada 62 bidang tanah terindikasi bersinggungan langsung dengan kawasan hutan (ada tanah beririsan_red), setelah disesuaikan dengan peta digital yang ada. Masyarakat Wates pun meragukan hal ini, sebab merasa telah lama memiliki bidang tanah mereka, di mana sebagian hasil membeli, maupun warisan.
"Menindaklanjuti hal tersebut, kami bersama Bapak Bupati dan BPKH XI Yogyakarta melakukan survei bersama untuk melakukan pengukuran kembali. Setelah dilakukan tata batas, ada yang semula harus berkurang banyak, ternyata hanya sedikit yang masuk kawasan hutan, dan ada yang sama sekali tidak masuk kawasan hutan," jelasnya.
Administratur Perhutani Kedu Utara, Maria Endah Ambarwati, mengaku bangga dengan sinergi ini, sehingga bisa menyelesaikan permasalahan bersama dengan baik dan bijak terkait batas lahan Perhutani dengan lahan masyarakat. Ia menjelaskan, meski Perhutani memangku kawasan hutan, namun terkait wewenang tata batasnya ada di Kementerian Kehutanan, dalam hal ini BPKH Wilayah XI Yogyakarta.
"Semoga sinergi ini bisa terus berlanjut, bukan hanya soal tata batas saja, terutama terkait dengan tugas kami selaku pemangku hutan, kelestarian hutan, bisa kita jaga bersama dengan masyarakat Desa Wates, maupun perbatasan lainnya," tuturnya.
Ketua Forum Masyarakat Wates Bersatu, Setyoko mengatakan, semula warga merasa janggal dengan adanya peta digital, sebab berbeda dengan peta manual zaman dulu, terlebih tanah sudah dimiliki secara turun temurun sejak masa Hindia-Belanda. Pada peta terdahulu, kata Setyoko, jelas terlihat, misalnya ada batasan alam, seperti jurang, namun setelah adanya peta digital batas alam justru terlampaui.
"Kita kan menggunakannya peta yang terdahulu batas-batas kalau saya melihat peta manual Perhutani zaman tahun 1940-an peta Hindia-Belanda batasnya kelihatan jelas sekali, seperti alam, jurang itu ada. Setelah pakai peta digital yang aneh batas alam itu terlampaui, seharusnya batas alam di titik timur itu, malah bergeser ke sebelah barat," terangnya.
Ia menyebut, dari 62 sertifikat, total luasan lahan ada 7 hektare dan yang beririsan dengan lahan Perhutani ada kurang lebih 3,5 hektare. Namun, setelah dilakukan rekonstruksi ulang batas kawasan oleh BPKH hanya ada 4.000 meter persegi yang milik Perhutani. Mewakili masyarakat, ia mengucapkan terimakasih kepada Bupati Agus Setyawan, Perhutani, BPKH, dan ATR/BPN atas terselesaikannya masalah ini, sebab lahan yang ada menjadi penopang hidup bagi masyarakat.
"Setelah pengukuran ulang oleh BPKH, batas-batas itu sudah sepakat, awalnya di mana terus kemudian sekarang ada yang melebar dan sebagainya kita sudah menerima, sudah clear. Lahan biasanya kita tanami hortikultura. Tempat saya itu tanah beli, jadi tidak tahu asal-usulnya, dari awalnya terkena 400 meter, sekarang hanya terkena 12 meter persegi dan saya ikhlas saya kembalikan kepada negara," tukasnya. (Ary;Istw;Ekp)








Tuliskan Komentar anda dari account Facebook